PASCA PASKAH MURID-MURID YESUS


Kebangkitan Yesus membawa perubahan yang luar biasa. Yesus memperolehkan kembali bagi DiriNya keAllahan seutuhnya. Ketaatan dan kesetiaanNya melaksanakan kehendak Bapa itu amat berkenan pada Allah Bapanya, sehingga Dia memperoleh kemuliaan sejati. Dia menjadi Tuhan atas alam semesta. Dia menjadi hakim pemenang yang unggul. Ia mengalahkan kematian kekal.
Para murid Yesus pun mengalami rahmat paskah yang luar biasa sehingga merekapun diubah dari cara hidup lama kepada cara hidup yang baru.
Pasca adalah setelah. Paskah adalah kebangkitan. Pasca Paskah berarti setelah kebangkitan Tuhan. Trus ada apakah dengan Pasca Paskah ? Setelah perayaan kebangkitan Tuhan; ada apanya kah?

Egoisme Spiritual menjadi Komunitas Ecclesial
Berapa kali saja Yesus geram/marah karena cara berpikir dan cara bertindak para murid. Selama mengikuti Yesus dalam perjalanan karyaNya, tidak hanya sekali dua kali, tetapi berulang-kali: para murid masing-masing hanya berpikir tentang kepentingan diri mereka sendiri. Yang mencari kedudukan lah, yang mau terdepan lah, yang mau memimpin lah. Pendek kata: apa yang menguntungkan diri sendiri sebagai murid Yesus, itu yang mau mereka raih. Sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang destruktif; tetapi mereka tetap saja ingin meraih yang terbaik melulu hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
Sesudah Yesus wafat; para murid mengalami ketakutan yang luar biasa. Maka mereka berkumpul bersama, rukun, hidup dan makan bareng, sampai mereka disadarkan bahwa Yesus bukan “mati” melainkan bangkit mulia. Kebangkitan Yesus yang mereka alami, menjadi pencerahan agar mereka tidak lagi berpikir tentang diri mereka sendiri-sendiri. Perkumpulan yang mereka bangun bukan atas dasar sama-sama sedang takut dan bingung; melainkan atas dasar kesadaran bahwa mereka dipanggil untuk membangun kesatuan ekklesial. Maka mereka berusaha untuk saling peduli satu sama lain; tidak lagu kuatir menjadi terbelakang atau tak berekedudukan!

Ketakutan menjadi semangat Profetis
Alasan para murid berkumpul setelah Yesus wafat yakni: karena takut terhadap khalayak yang menolak dan akhirnya membunuh Yesus; diubah menjadi pembangunan persaudaraan untuk siap diutus mewartakan kabar kebangkitan itu. Lihat saja: sosok pribadi Petrus yang seorang nelayan, yang tidak jelas omongannya: kini menjadi seorang pengkotbah yang dengan berani mengakui dan meyakinkan khalayak, bahwa Yesus yang mereka bunuh: kini bangkit mulia, menjadi Tuhan yang hidup jaya. Bahkan dalam nama Yesus, Petrus membuat banyak mukjijat. Tidak ada lagi rasa takut dan cemas; bahkan mereka rela mengalami apapun, kematian sekalipun: asal mereka bisa mewartakan Yesus, Tuhan mereka yang telah bangkit.
Dari sejarah gereja dan sejarah perjalanan perutusan para murid; kita tahu persis bahwa akhirnya beberapa dari keduabelas murid itu ada yang berani mewartakan Injil tidak hanya di seputar Yerusalem, tetapi sampai daerah-daerah non Yahudi bahkan juga daerah-daerah kafir. Semangat kenabian (profetis) mereka peroleh sebagai rahmat dari kebangkitan Yesus.

Yahudis menjadi Kristiani
Perjamuan yang diadakan Yesus bersama para murid adalah perjamuan ala Yahudi. Perjamuan model Yahudi itu, oleh Yesus diberi makna kristiani: yakni menjadi perjamuan warisan sekaligus pengenangan akan pengorbanan Yesus bagi para murid, dan juga kita semua di zaman ini. Cara makan yang cepat-cepat dan aturan yang bermacam-macam, diberi nilai sebagai simbol pemberian Diri Yesus. Yang dikorbankan bukan lagi roti tak beragi dan anggur yang diperas dari perkebunan Yahudis; melainkan hidup Yesus dengan darah yang tertumpah dari atas kayu salib.
Sepeninggal Yesus; para murid kembali melaksanakan pekerjaan mereka semula, mencari ikan dsb. Pekerjaan yang mereka lakukan kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dimaknai sebagai bagian dari tugas perutusan kerasulan.

Pasca Paskah kita ?
Perayaan Paskah sudah lewat. Banyak kesan kita peroleh baik dari persiapannya, perayaannya sendiri, pengalaman sesudah paskah, dll.
Ada satu pengalaman yang bagi saya cukup menggelitik (tanpa mengurangi rasa hormat kepada ybs). Beberapa waktu yang lalu, sesudah Paskah, datanglah sepasang calon mempelai. Kami ngobrol kesana kemari. Dan sungguh diluar dugaan; mereka mempersiapkan pernikahan mereka sebatas ceremonialis. Tidak harus dikatakan sebagai keprihatinan, karena mereka sendiri tidak merasa bahwa itu amat memprihatinkan. Tidak harus dikatakan kemunduran rohani/iman, karena mereka sendiri merasa baik-baik saja. Apa yang mereka anggap biasa, sementara saya anggap luar biasa antara lain adalah :
. Mereka sudah cukup umur, bahwa lebih dari cukup (30-an) dan mereka belum menerima sakramen Krisma. Kedua-duanya belum! Ketika saya tanya mengapa: mereka menjawab tidak ada yang mengarahkan. Saya tanggapi: Apa penting dan perlunya pengarahan. Bukankah seumur mereka tidak masanya lagi butuh pengarahan, mereka sudah berstatus sebagai pengarah kehidupan. Bagaimana mereka akan mengarahkan anak-anak mereka kelak; bila mereka sendiri tidak bisa membuat arah bagi mereka sendiri? Orang Jawa mengatakan “wis ra mangsane isih diarah-arahke. Lha wong wis gedhe-tuwa, to?”
. Mereka melemparkan tanggung-jawab kepada situasi yang mereka alami. “Keluarga saya khan begini! Orang tua khan yang menyebabkannya”. Cara berpikir yang kurang personality!
. Dialog berlanjut sampai pada bagaimana mereka menghayati sakramen-sakramen koq sampai belum Krisma dsb; beralih pada “kemarin Paskah misa dimana”. Salam TriHariSuci mereka tidak mengikuti perayaan-perayaan di gereja, karena foto pre-wedding. Alasannya fotographernya bisanya hari-hari itu. Saya tidak banyak komentar: hanya “apa yo ra isa matur, kula tiyang katolik ingkang kedah dhateng greja sadangunipun riyaya minggu suci”.
CaSE ini jangan dianggap sebagai penghakiman yang menyalahkan kedua calon mempelai. Hanya sebagai contoh: betapa kebangkitan Kristus belum memaknai hidup kita sepenuhnya. Apa yang dipenggalih kedua calon mempelai itu dengan wedding dan prewedding mereka. Wedding mereka mau digali dan dimuarakan pada peristiwa kebangkitan Tuhan sendiri; atau kemanakah? Sampai-sampai persiapan wedding mereka mengalahkan segala-galanya termasuk dan terutama sukacita gereja merayakan kebangkitan Kristus.
Semoga semangat kebangkitan; membangkitkan dalam diri kita kehendak dan cara pikir serta cara tindak kita yang lama. Kita tidak lagi berkuthat-kuthet sekitar memikirkan diri sendiri semata.
Egoisme Spiritual, yakni: cara penghayatan agama yang mengutamakan “sing penting aku cocok lan seneng; wong liya, lingkungan, paroki, dll – ra urusan” harus dipertobatkan. Kita masing-masing bagian dari gereja komunitas ekklesial: yang peduli dengan segala sepak terjang dan karya kerasulannya; dengan ritual dan semangat rohaninya; dengan pelayanan sakramennya. Bukanlah tema Paskah kita Peduli dan Berbagi! Pasca Paskah inilah saatnya kita mewujudkan peduli dan berbagi dengan orang lain, lingkungan dan paroki.
Ketakutan untuk tidak mengakui diri sebagai orang katolik – harus dirombak dan diperbaharui lagi. Kondisi di negara dan lingkungan masyarakat kita kadang rejektif (menolak) terhadap ide, gagasan dan cara hidup kita sebagai orang katolik. Tetapi bukan berarti bahwa kita terus mundur. Kita diutus membawa warta Paska: dengan cara tindak dan pekerjaan kita sehari-hari. Paskah tidak mengubah pekerjaan kita; tetapi paskah memberi nilai lebih terhadap pekerjaan kita.

Yang belum sempat salaman Paskah; salam saya via majalah ini.
Yang belum sempat mengucapkan Paskah; ucapan saya via tulisan ini.
Yang belum ikut dengan doa-doa ber-semangat Paskah; carilah di google: at@s,pr doa harian .
Yang belum sempat ketemuan Paskah; ketemu pasca Paskah dalam Misa-misa hari minggu di gereja ya! (Pesan sponsor: jangan hanya ke gereja Paskah dan Natal: lhaaahh kita gak jadi ketemuan).

Selamat Paskah 2012 dengan tema Peduli dan Berbagi.
Selamat Pasca Paskah 2012 dengan mewujudnyatakan ke-Peduli-an dan ke-Berbagi-an kita.
-Rm.Simon Atas W, Pr

Tinggalkan komentar